Twitter
KARANG TARUNA TERATAI KELURAHAN TITIPAPAN

Archive for Mei 2012

Oleh: 
Maria R. Nindita Radyati, PhD
Seperti kita ketahui, masih banyak yang menganggap tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) sebagai perhabisan biaya. Akan tetapi, menurut penelitian Price Waterhouse Cooper (PWC) sudah ada perusahaan yang menganggap CSR sebagai investasi jangka panjang.
Seperti halnya investasi dalam proyek apa pun, perusahaan selalu mengharapkan tingkat pengembalian atau Return on Investment (ROI). Tingkat ROI menunjukkan berapa besar investasi tersebut menghasilkan tingkat pengembalian bagi perusahaan. ROI dapat digunakan juga untuk mengukur besarnya tingkat pengembalian dari investasi dalam CSR.
Akan tetapi, ada suatu konsep baru yang biasa digunakan oleh organisasi nirlaba, seperti yayasan, koperasi, dan asosiasi untuk mengukur dampak kegiatan yang mereka lakukan kepada komunitas.Konsep tersebut adalah Social Return on Investment (SROI) atau tingkat pengembalian sosial.

Ajaib! Dalam beberapa tahun saja trilliunan Rupiah uang negara plus dana pinjaman asing mengalir ke kas penyelenggara pembangunan desa dan kota. Rejim berkoar bahwa mereka sukses dengan skema program yang mereka anggap partisipatif. Ribuan fasilitator dilatih, dimobilisasi dan digaji untuk satu upaya yang mereka sebut sebagai fasilitasi pemberdayaan warga, dari desa pelosok di Sabang hingga pedalaman Merauke.
Di lain pihak, para penganjur penguatan warga sipil (civil society) atau NGO menilai, klaim ini sebagai sesuatu yang tak berdasar dan bombastis. Dana mungkin telah didistribusi namun mereka belum melihat bukti bahwa warga telah menunjukkan rasa memiliki (ownership) sehingga dengan sukarela menjaga dan memanfaatkan bantuan tersebut. Mereka menyodorkan bukti bahwa banyak sekali fasilitas bantuan yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Pada tingkat makro, pengangguran dan urbanisasi dari desa ke kota malah semakin tinggi dan menjadi persoalan baru di pusat-pusat kota.
Kita mungkin pernah melihat satu pos bantu kesehatan yang hanya menjadi tempat tidur kambing dan ayam kampung. Kotoran mereka mengering di atas lantai. Atau, bangunan yang sedianya untuk balai pertemuan warga namun hanya menjadi tempat jemur pakaian. Penulis juga pernah mengamati denyut program pada suatu desa dimana terdapat beberapa fasilitas umum seperti Mandi Cuci Kakus (MCK) bertuliskan tahun 2009, sarana pipa air dan satu lagi MCK yang dibangun tahun 2005 berdiri tak berjauhan dari rumah aparat desa. Bantuan-bantuan itu hadir di satu titik. Seakan-akan hanya elite desa yang butuh.