Pujiriyanto
Abstrak
Dunia pendidikan saat ini
ada pada aras diametrikal yang saling bertolak belakang. Di satu sisi harus
memainkan perannya sebagai penjaga dan pelestari nilai-nilai dan ajaran moral,
pada sisi lain pendidikan dituntut melahirkan individu-individu yang unggul
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dunia pendidikan sebagai lokomotif utama pembentuk karakter dan jati
diri bangsa justru berada dalam paradok yang kontraproduktif. Di satu sisi
mengajarkan nilai-nilai moral namun di satu sisi terjadi melanggar nilai-nilai
dan ajaran moral. Materialisasi dan politisasi pendidikan adalah fenomena
terjadinya paradok ini. Dunia pendidikan sendiri mengalami krisis identitas dan
kehilangan karakternya sebagai agen perubahan. Ideologi pendidikan yang tidak
jelas menjadikan dirinya terombang ambing, dan cenderung kehilangan rasa
percaya diri akan kekuatan dirinya.
Untuk tetap berperan aktif dalam membentuk jati diri bangsa dan sebagai
agen perubahan dunia pendidikan harus membebaskan diri dari belenggu yang
melahirkan paradoknya, membangun percaya diri dan menemukan paradigma yang
sesuai. Pendidikan profetik ditawarkan sebagai sebuah paradigma pendidikan yang
mampu mensintesakan antara keinginan sistem pendidikan modern dan sistem
pendidikan yang menginginkan terjaganya nilai-nilai moral.
Kata kunci: jati diri,
kognitif, nilai moral, percaya diri, profetik.
Refleksi
Kritis Pendidikan di Indonesia
Pendidikan
di Indonesia yang sudah berjalan sekian puluh tahun sejak kemerdekaannya
disadari lebih menekankan pada dimensi kognitif mencetak manusia-manusia
cerdas, terampil, dan mahir telah berpretensi melahirkan manusia yang
berkepribadian pecah (split personality)
dan integritas (split integrity). Tidak mengherankan apabila kebohongan,
manipulasi, korupsi, serakah, kolusi, nepotisme, kerusuhan antar etnis,
pembunuhan dan sederetan peristiwa lainnya selalu mewarnai berita di negara
ini. Dimensi-dimensi lain seperti afektif
dan psikomotorik gagal diimplementasikan dalam sistem pendidikan sebagai ciri profesional
yang mengintegrasikan antara intelektual, moral, spiritual tidak tercermin pada
para lulusannya. Krisis identitas mewarnai individu-individu yang terlahir dari
dunia pendidikan dan cenderung tidak percaya diri untuk menjadi dirinya sendiri.
Masifikasi gelombang modernitas telah membawa siapapun termasuk dunia
pendidikan untuk hanyut mengikuti mainstream
dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan alasan tidak ingin teralienasi
dan dikatakan alergi terhadap modernitas. Dalam kondisi seperti ini hegemoni
konsep-konsep pendidikan ala barat sulit bisa dihindari, cenderung mencibirkan
konsep-konsep dan ajaran lokal meskipun diyakini syarat dengan nilai-nilai moral.
Ini merupakan indikasi bahwa pendidikan di Indonesia telah mengkhianati amanat
karena gagal memelihara nilai-nilai yang mengakar pada masyarakat.
Sektor pendidikan yang diharapkan dapat memberikan
pencerahan dan membentuk jati diri bangsa justeru mengalami krisis internal dan
kehilangan orientasi. Konsep yang jelas
dan konsisten dalam implementasinya selalu gagal menemukan totalitasnya. Refleksi
kritis dan evaluasi komprehensif tidak memadai dilakukan. Perubahan politik di
negara ini selalu mengorbankan konsep dan sistem pendidikan sehingga
kesinambungan program-program pendidikan tidak pernah berjalan mulus. Ironisnya
setiap pergantian menteri selalu melahirkan kebijakan-kebijakan baru yang
sesungguhnya tidak memiliki dasar filosofis yang memadai. Pendidikan terkesan menjadi
alat perjuangan politik kaum elitis dan dimanfaatkan sebagai sarana
mempertahankan kelas tertentu. Belum lagi saat ini berkembang wacana kebijakan
dua jalur pendidikan yang terkesan sangat esensialistik dan dikawatirkan akan menimbulkan
segregasi sosial menimbulkan pro dan kontra. Orang tidak lagi memiliki
kesempatan menikmati pendidikan berkualitas karena ada dalam “kemiskinan dan kebodohan”.
Pendidikan telah mengkhianati misi utamanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
tanpa membeda-bedakan status sosial. Namun realitasnya pendidikan saat ini lebih sibuk melayani golongan sosial tertentu dan menjadi
pelayan setia pada kapitalisme. Materialisasi pendidikan sudah mulai menggejala
dan menggeser ideologi pendidikan mengarah kepada ideologi materialisme
kapitalis. Kurikulum disusun dan diorientasikan untuk mampu mendapatkan
pekerjaan dibungkus dengan baju modernitas. Konsekwensinya untuk menikmatinya
diperlukan biaya yang besar. Padahal teori modern mengatakan pendidikan adalah
investasi dan secara ekonomi sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya.
Dengan demikian untuk merealisasikan manusia yang seutuhnya dan tidak memarjinalkan
akan sulit dicapai karena prinsip ekonomi tidak mengenal istilah spiritual,
moralitas dan kebersamaan. Nilai-nilai moral diajarkan sebatas teori belaka dan
tidak pernah dibuktikan dalam praktik kehidupan.
Dalam konteks pendidikan praktik-praktik kapitalisme dan
pelanggaran moral ironisnya juga dilakukan oleh sebagian insan dan institusi
penyelenggara pendidikan dengan menjadikan kewenangannya untuk menaikan
pendapatan. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan selalu diukur dari megahnya
gedung, mahalnya biaya, banyaknya peminat dan seberapa banyak alumninya yang
menjadi pejabat. Materialisasi pendidikan inilah yang menjadi landasan awal
terjadinya materialisasi dalam semua aspek kehidupan. Jati diri sebagai bangsa
yang suka bergotong royong, saling tolong menolong dan kekeluargaan menjadi
terkoyak karena semua pola hubungan serba diukur dengan materi. Lalu bagaimana
jika pendidikan nasional sebagai lokomotif utamanya tidak memiliki jati diri
dan sarat dengan orang-orang yang mengalami krisis jati diri? Jati diri bangsa
macam apa yang diharapkan mendapatkan kontribusi dari dunia pendidikan?
Modernitas: Tantangan Pendidikan dalam Pembentukan Jati Diri
Proyeksi masa depan manusia adalah kehendak untuk
memperoleh kepastian dan realitas hidup yang lebih baik. Bagaikan dua sisi mata
uang di satu pihak ingin memperoleh kepastian hidup yang lebih baik, namun di
satu sisi perkembangan global justru menggiring manusia ke medan alienasi dari
kesejatian diri dan lingkungannya. Menurut Seyyed Hossein Nasr (1975) manusia
modern cenderung mengalami pemisahan kepribadian dan integritas. Secara positif
perkembangan global mampu menciptakan budaya dunia yang mekanistis dan efisien
sekaligus tidak menghargai norma dan nilai karena secara ekonomis tidak
menguntungkan. Perubahan masyarakat terjadi sangat signifikan baik dari aspek
ideologi, ekonomi, politik, maupun moralitas. Dari aspek ideologi bergeser dari
spiritualisme-religius menjadi materialisme-kapitalisme, segi ekonomi bergeser dari
keperluan memenuhi kebutuhan hidup keluarga menjadi keserakahan dan nafsu
menguasai sumber daya ekonomi, dari aspek politik bergeser dari fungsinya
sebagai sarana mengembangkan ajaran dan moralitas menjadi sarana untuk
menguasai masyarakat dan dari segi moralitas pandangan terhadap konsep
moralitas masyarakat sudah mulai berubah. (Muhammad A.R., 2003:17).
Pada skala hubungan internasional hubungan antar negara
berada pada posisi tawar menawar, saling bergantung, upaya saling menyeimbangkan
kepentingan, usaha mencapai keunggulan kompetitif, tanpa batas geografis dan
diwarnai persaingan dalam penguasaan teknologi. Kondisi ini yang kemudian
memaksa setiap negara untuk mengerahkan segala potensi dan sumber daya manusia
yang dimiliki untuk menjadi pemain-pemain unggul, mampu bersaing dan mengambil
peran di arena global. Pendidikan adalah jalur vital dan strategis yang selalu dipilih
untuk penyiapan sumber daya manusia. Keberhasilan pendidikan dalam menelurkan individu-individu
kompetitif dalam percaturan global ternyata memiliki konsekwensi yang harus
dibayar mahal oleh Bangsa Indonesia. Pribadi-pribadi yang miskin spiritual,
materialistis, individualistik, hasrat berlebihan berkuasa, keinginan mencari
kenikmatan dengan posisi uang dan kerja, perasaan hidup tanpa makna, apatis,
bosan dan dis-orientasi merupakan beberapa fenomena yang banyak dijumpai. Sebagian masyarakat cenderung mengabaikan
nilai-nilai agama dan ajaran-ajaran moral, namun di satu sisi masih ada
kelompok masyarakat yang ingin mempertahankan nilai-nilai agama dan
ajaran-ajaran moral. Pertemuan dua kutub inilah yang sering menimbulkan
berbagai benturan kepentingan sampai terjadinya konfrontasi fisik seperti
kerusuhan antar etnis dan berbagai kasus yang menjadi ancaman disintegrasi
nasional. Kondisi ini kemudian menjalar menjadi ketidakpastian arah, setiap
kelompok masyarakat memaksakan kepentingannya. Masing-masing selalu menonjolkan
perbedaan bukan mencari persamaan, akibatnya sebagai satu bangsa terancam kehilangan
identitas kebangsaannya. Karakter dan jati diri sebagai bangsa yang suka
menolong, bekerja sama, ramah, mengedepankan musyawarah tidak lagi tercermin
dalam setiap tindakan. Muaranya pada krisis multidimensi yang semakin
menggerogoti jati diri bangsa dan orientasi kebangsaan yang semakin tidak
menentu.
Dunia pendidikan dituntut perannya untuk kembali
menjernihkan arah perjalanan bangsa. Realitasnya jelas dunia pendidikan akan
berada pada posisi kondisi dilematis-kontradiktif karena tuntutan modernitas sekaligus
sebagai tuntutan peran penjaga nilai-nilai moral. Sementara dunia pendidikan
berada dalam paradok, di satu sisi ingin
menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai moral, namun pada sisi lain justeru
perilaku sebagian institusi pendidikan malah mencerminkan praktek-praktek
pendidikan yang menyimpang dari nilai moral, misi dan visi utamanya. Sejak lama
pendidikan selalu berhadapan dengan dua tipeologi yang diametral. Apa yang
harus dilakukan untuk oleh pendidikan untuk konsisten kepada misi utamanya?
Pendidikan sebagai totalitas usaha dan tindakan harus
diubah orientasinya memberi kesempatan anak didik berkembang serasi dalam tiga
ranah kecakapan. Pendidikan tidak boleh steril terhadap realitas sosial dan
modernitas yang konsen dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Namun
apapun solusi yang ditawarkan syarat utama pendidikan harus melakukan penjernihan
terhadap dirinya sendiri, yaitu;
1.
Pendidikan
dan institusinya harus bebas dari kepentingan politik. Proses pembelajaran
harus dibebaskan dari doktrin legal formal yang mengarahkan kepada keberpihakan
parsial termasuk keberpihakan berpihak kepada kapitalisme. Proses pembelajaran
dijauhkan dari proses reproduksi dan
dekontruksi ideologi-ideologi kelas sosial
tertentu untuk melanggengkan kekuasaan dengan memaksakan nilai-nilai
kependidikan versi mereka. Pendidikan
harus memiliki identitas dirinya sebagai totalitas usaha untuk membebaskan dan
mencerahkan. Proses pembelajaran diarahkan pada terciptanya transformasi dan
edukasi sosial secara komprehensif.
2.
Pendidikan
tidak boleh terjebak kepada usaha-usaha materialisasi pendidikan, pemerintah
segera merealisasikan 20 % APBN (komitmen pemerintah baru pada tahun 2009) untuk
anggaran pendidikan karena pendidikan merupakan hak dasar yang utamanya menjadi
tanggung jawab negara.
3.
Pendidikan
diarahkan dalam menanamkan integritas etik dan akhlak dan mengembalikan makna
“pendidikan” bukan sekedar “pengajaran” dan makna “mendidik” bukan sekedar
“mengajar”. Pendidikan moral dan budi pekerti kembali dihidupkan, tingkah laku
dan sikap diposisikan sebagai salah satu aspek penting evaluasi secara
menyeluruh.
4.
Mengembangkan
metode-metode pendidikan yang mengedepankan keteladanan dan memberikan
kesempatan peserta didik untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang diajarkan.
5.
Hilangkan
dikotomi antara pembelajaran nilai-nilai dengan ilmu pengetahuan umum.
Pendidikan harus mensintesakan antara sistem pendidikan berbasis berbasis
nilai-nilai yang mengakar pada budaya bangsa dan agama dengan sistem pendidikan
modern yang mengedepankan nilai-nilai humanity,
equity dan demokrasi
Pertanyaannya
model pendidikan apa yang ditawarkan yang dapat mensintesakan dua kutub sistem
pendidikan dan berkontribusi dalam membentuk jati diri bangsa? Dalam konteks
globalisasi model pendidikan seperti apa yang dapat mempertahankan peran
menjadi penjaga dan pewaris nilai-nilai moral sekaligus menghasilkan
individu-individu yang kreatif, menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan, mampu
mengembangkan iner dynamic dan
kompetitif?
Pendidikan Profetik : Sarana Membangun Jati Diri Bangsa
Pendidikan profetik merupakan paradigma pendidikan yang
berusaha melakukan sintesa antara sistem pendidikan yang konsen terhadap nilai-nilai moral dan
religius dengan sistem pendidikan modern yang mengembangkan nilai-nilai
kemanusiaan. Dualisme sistem pendidikan yang dikotomis yang dalam konteks
Indonesia dua sisi diametrikal antara
pendidikan ala barat yang dinasionalisasi dan pendidikan ala timur yang sudah secara
historis telah ada sejak nenek moyang. Pendidikan profetik dapat dikembangkan
dalam tiga dimensi yang mengarahkan perubahan atas masyarakat yaitu humanisasi,
liberasi dan transendensi (Moh. Sofan, 2004:131). Paradigma pendidikan profetik
dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan
mentransformasikan gejala sosial, dan mengubah sesuatu hanya demi perubahan
namun lebih dari itu mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan
profetik. Cita-cita etik dan profetik
inilah yang seharusnya diderivasikan dari nilai-nilai yang mengakar pada budaya,
ajaran agama dan nilai-nilai moral bangsa sehingga pencapaian cita–cita
pendidikan tidak mengorbankan jati diri bangsa. Sementara dalam hubungan antara
nilai-nilai agama dan budaya bangsa harus diletakkan dalam kerangka pluralisme
dan multikulturalisme. Artinya sistem pendidikan harus memberikan pemahaman
nilai-nilai agama dan nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi tugas pendidikan
untuk melakukan reorientasi konsep-konsep normatif agar dapat dipahami secara
empiris (Kuntowijoyo dalam Muh Sofan, 2004:135). Pendidikan diorientasikan untuk memfasilitasi
terbentuknya kesadaran ilmiah dalam memformulasikan konsep-konsep normatif
menjadi konsep-konsep teoritis. Pendekatan deduktif-induktif idealnya
diterapkan dalam pembelajaran pengetahuan umum dan pendidikan moral.
Pada saat inilah diperlukan obyektifikasi dan
konseptualisasi agar tingkat kesadaran teologis-normatif menjadi bermakna dan
kontekstual. Konseptualisasi dalam bahasa ilmu yang obyektif inilah yang tidak
diintegrasikan dalam sistem pendidikan nasional. Akibatnya seluruh konsep
pendidikan yang bersumber dari eksternal (di luar dimensi budaya dan nilai-nilai
lokal) tidak diadopsi melalui proses dialog atau pencernaan secara tuntas. Hal
inilah yang membuat pendidikan kita menjadi “terombang ambing” dalam mensikapi
arus perubahan sosial yang masif. Akibatnya
institusi pendidikan dan individu di dalamnya yang diharapkan menjadi
lokomotif pembentukan jati diri bangsa
kehilangan kendali dan mengalami disorientasi. Karena itu misi praktis bagi
pendidikan saat ini adalah membebaskan dirinya sendiri dan selanjutnya
membebaskan manusia dari kungkungan bermacam aliran dan filsafat yang
memposisikan manusia sebagai makhluk yang tidak otonom dalam berpikir dan tidak
memiliki hak kemerdekaan. Menurut Paulo Freire bahwa pendidikan adalah proses
pembebasan dan pendidikan adalah proses membangkitkan kesadaran kritis. Namun sekali
lagi syarat utama pendidikan sendiri terlebih dahulu harus membebaskan diri
dari pasungan dan dominasi kepentingan kapitalisme dan politisasi pendidikan.
Membangun Rasa Percaya Diri Dunia Pendidikan
Sikap tidak percaya diri juga termanifestasikan dalam pengelolaan
sistem pendidikan. Penanganan pendidikan di Indonesia diposisikan bukan sebagai
prioritas utama sejak 40 tahun silam. Hal ini berimplikasi pada sistem
manajerial yang tidak profesional, dilaksanakan secara amatiran, berdasarkan common sense, spekulasi, miskonsepsi, bahkan tahayul dan
mitos (Munandir dalam Imam Tolkhah, 2003:17). Rangkaian inovasi termasuk
perubahan sistem yang diujicobakan melalui pelbagai model kurikulum belum
pernah dievaluasi mendalam untuk dicari akar
permasalahannya secara mendasar. Bahkan pertanggungjawaban atas hasil
evaluasi kepada publik tidak pernah dilaksanakan secara memadai. Nampaknya
pendidikan kita lebih percaya dan menyukai konsep-konsep sebagai epigon dari
barat yang belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat. Ajaran lokal yang
sarat dengan nilai moral seringkali dianggap kuno dan tidak sesuai dengan
jamannya karena teropong modernitas telah menjebak membentuk pemikiran bahwa sesuatu
yang modern diposisikan sebagai sesuatu yang lebih baik. Pendidikan kita agaknya
sedang menderita “sakit leher” karena keengganan untuk kembali menengok ajaran
moral dan nilai-nilai lokal untuk diintegrasikan dalam praktek pendidikan. Atau
materialisasi pendidikan melalui budaya konsumerisme juga sudah meracuni dunia
pendidikan. Bongkar pasang kurikulum mulai dari konsep CBSA, MBS (School Based Management), Manajemen
Berbasis Masyarakat (Community Based
Management), Life Skill sampai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
mungkin ada dan terus dilakukan. Proses tambal sulam dan uji coba (triar error) merupakan indikator sederhana bahwa dunia pendidikan
telah kehilangan identitas dan rasa percaya dirinya bahwa wilayah garapannya
demikian strategis dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa.
Rasa percaya diri ini menjadi semakin menurun seiring
terbatasnya sarana dan pra sarana, rendahnya kualitas guru, adanya sentralisasi
pembinaan dan penyeragaman kurikulum, birokrasi dan sebagainya. Sistem
pendidikan sentralistik dan konformistik telah mengakibatkan; 1). masyarakat
kehilangan daya improvisasi, inovasi dan kreatifitas 2). Peserta didik tercabut
dari akar budayanya sehingga kehilangan identitas sejati yang berarti terjadi
isolasi akademik atas lingkungan keseharian dan pluralitasnya. Pasungan
kehendak penguasa menjadikan pendidikan sebagai pelestari ideologi pembangunan
merupakan bentuk isolasi akademik karena tidak dioerientasikan sebagai usaha
membebaskan masyarakat dari ketertindasan. Kecerdasan, kemahiran dan keahlian
yang diperoleh dari bangku pendidikan belum bisa mendorong tumbuhnya rasa
percaya diri dan menjadi kekuatan dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa.
Membangun rasa percaya diri pendidikan harus dimulai dari
timbulnya rasa percaya diri yang kuat dunia pendidikan sendiri akan
kemampuannya dalam menjaga nilai-nilai moral sepanjang tidak bertentangan
dengan moral masyarakat dam nilai-nilai agama. Pendidikan dan beragam
institusinya sendiri harus menentukan keputusan moral dan menunjukkan perilaku
moral mencerminkan nilai-nilai agama, moral dan ajaran-ajaran lokal. Mengambil
keputusan moral yang tepat berdasarkan agama atau ideologi yang dianut dalam
masyarakat merupakan bentuk rasa percaya diri, yaitu;. Pertama, dunia pendidikan yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk
bangkit atau melakukan penjernihan diri dari pasungan paradok dan kungkungan ajaran
kapitalisme. Kedua, sadar akan
perannya sebagai agen perubahan sekaligus pewaris nilai-nilai yang berarti
percaya akan kekuatan yang ada pada bangsanya.
Penutup
Harus diakui pendidikan telah kehilangan orientasi dan
mengalami krisis identitas. Kita tidak memiliki sistem pendidikan yang bersifat
ke Indonesiaan. Pendidikan harus dimulai dari suatu proses dialogis melibatkan
kesadaran kritis. Dalam menjalankan perannya sebagai agen perubahan pendidikan
harus menempatkan proses perubahan dalam konteks kesejarahannya mampu
mengarahkan perubahan kepada tujuan yang etik dan profetik.
Berada
pada tantangan modernitas, pendidikan dituntut mampu menghasilkan menjadi
menghasilkan individu-individu yang kompetitif dan menguasai ilmu pengetahuan
namun memiliki moralitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan profetik merupakan sebuah model alternatif
yang mampu mensintesakan kepentingan dua kutub yang ada pada posisi
diametrikal. Untuk menerapkan hal ini syarat
utama dunia pendidikan harus membebaskan diri dari praktek-pra[1]ktek pendidikan yang tidak mencerminkan nilai-nilai agama,
moral dan etika. Pendidikan harus membangun karakter dan identitasnya sendiri,
memiliki rasa percaya diri akan peran dan kemampuannya sebagai lokomotif
pembentuk karakter dan jati diri bangsa.
Konseptualisasi dan obyektifikasi dalam proses
aktualisasi pendidikan moral harus difasilitasi sampai kepada kesadaran
kesadaran kritis yang rasional dan ilmiah. Mengajar tidak boleh lebih dominan
daripada mendidik, pengajaran lebih menonjol daripada pendidikan. Pendidikan harus
menyentuh seluruh aspek kognitif, afektif dan psikomotorik atau merambah dalam
dimensi pengetahuan, sosial, moral, religius, emosi dan hati. Pendidikan moral tidak
boleh miskin keteladanan dengan menisbikan aspek moral sebagai salah satu tolok
ukur keberhasilan dalam evaluasinya.
Daftar
pustaka
Djojodibroto, Darmanto. Tradisi Kehidupan Akademik. Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Kartono, St. Menebus
Pendidikan yang Tergadai: Catatan
Reflekstif Seorang Guru. Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Maksum, Ali. Paragdigma
Pendidikan Universal di era Modern dan
Post Modern. Yogyakarta: Ircisod, 2004.
Muhammad A.R. Pendidikan
di Alaf Baru: Rekonstruksi atas
Moralitas Pendidikan. Yogyakarta:
Prismasophie.
Ramayulis.
Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia, 2002.
Sofan,
Moh. Pendidikan Berparadigma Profetik:
Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ircisod, 2004.
Supeno,
Hadi. Agenda Reformasi Pendidikan.
Pustaka Media, 1999
Tholkah, Imam. Membuka
Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan
Islam. Jakarta: Raja Gravindo
Perkasa, 2003.