Twitter
KARANG TARUNA TERATAI KELURAHAN TITIPAPAN

Idul ADHA DAN REALITAS SOSIAL

Author PUSAT INFORMASI DAN KONSELING REMAJA KARANG TARUNA TERATAI KELURAHAN TITIPAPAN - -
Home » » Idul ADHA DAN REALITAS SOSIAL


Idul Adha atau hari raya korban mengajarkan arti penting sebuah keyakinan dan pengorbanan. Bermula dari kisah Nabi Ibrahim as. yang mendapat perintah dari Allah SWT agar menyembelih putra tercintanya Ismail a.s. Ketulusan Ibrahim untuk menyembelih putranya atas perintah Allah, merupakan bentuk pengorbanan yang sangat mendalam. Pengorbanan demi suatu keyakinan yang kuat akan nilai kebaikan, dan pasti akan mendapat pertolongan Allah dalam perjalanannya, meskipun harus melepas sesuatu yang paling ia cintai. 
Jika ibadah kurban telah dipraktikkan pada masyarakat kuno atau generasi yang paling awal, dan kurban bukanlah ibadah khas Islam, apa yang membedakannya dengan syari’at qurban Islam ?.Berkenaan dengan hal ini paling tidak ada dua hal yang membedakan ibadah qurban masyarakat kuno dengan qurban dalam Islam. Pertama, dari sisi orientasi atau tujuan ibadah. Jika pada masa lalu, qurban erat kaitannya dengan permohonan keselamatan kepada dewa, maka di dalam Islam kurban dimaksudkan untuk ibadah kepada Allah Swt. Pengorbanan seorang hamba apapun bentuknya hanya pantas dipersembahkan kepada Allah dan bukan kepada yang lain. Menariknya, kendati orientasi ibadah qurban kepada Allah, namun tetap mengacu kepada kepentingan manusia. Lewat qurban, seseorang akan membuktikan cintanya kepada Allah Swt.
Kedua, perbedaan qurban masa lalu dengan qurbannya Islam adalah dari sisi pemanfaatan hewan qurban. Bagi peradaban kuno, inti dari kurban bukanlah pendistribusian obyek qurban kepada orang ramai, karena biasanya, obyek qurban justru dimusnahkan dengan dibakar atau dihanyutkan ke sungai. Jelas tidak ada pemanfaatan buat manusia. Berbeda dengan Islam, hewan yang diqurbankan peruntukannya dikembalikan kepada manusia. Agaknya cukup menarik membaca firman Allah Swt. yang maknanya, "Sesungguhnya yang sampai kepada Allah bukanlah darah atau dagingnya melainkan ketakwaaan kamu."
Menariknya di dalam Islam, kendatipun ibadah qurban dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. namun nilai-nilai sosial (solidaritas sosialnya) tetap terpelihara. Bahkan esensi dari ibadah qurban itu sesungguhnya terletak pada distribusi hewan qurban kepada orang-orang yang tidak mampu agar mereka memiliki perbekalan makanan pada hari raya idul Adha dan hari tasyrik. Dengan pemberian daging kurban diharapkan mereka juga dapat bergembira dalam merayakan idul Adha.
Pertanyaannya adalah, apakah ibadah qurban yang kita laksanakan selama ini telah berhasil menggembirakan fakir miskin dan orang-orang yang tidak mampu? Apakah target memberikan kelapangan dan kegembiraan tersebut hanya untuk 4 hari saja (Idul Adha dan hari tasyrik) sedangkan selainnya mereka akan kembali sengsara? Pertanyaan ini penting untuk direnungkan? Bagi saya, ajaran Islam tidaklah sesederhana itu dalam memandang sebuah persoalan. Islam juga tidak pernah memberikan jalan keluar terhadap persoalan kemiskinan dan kemelaratan secara instan. Mengapa sampai hari ini, apakah ibadah zakat, infaq, sadaqah dan wakaf belum berhasil mengangkat harkat dan martabat kehidupan umat Islam yang sebagian besarnya dalam kemelaratan? Hemat penulis, masalahnya bukan pada institusi zakat dan wakaf itu sendiri. 

Namun lebih disebabkan pembacaan kita yang salah atau paling tidak kurang tepat dengan apa yang dikehendaki Allah swt. Zakat kita masih pada hal dari makna literalnya saja, zakat itu bermakna produktifitas dan pengembangan. Demikian juga dengan qurban? Dalam rentang waktu yang cukup panjang, qurban hanya dipahami dalam konteks penyembelihan hewan qurban seperti kambing, lembu dan kerbau. Inilah yang ditangkap dari firman Allah surat Al-Hajj ayat 34 yang menyebut kata bahimat alan’am (binatang yang jinak).
Bagi saya, ajaran qurban tidak boleh berhenti. Karena nilai-nilai yang dikandung ibadah termasuk qurban, sebenarnya nilai-nilai yang bersifat universal mengatasi segala ruang dan waktu. Pesan qurban adalah solidaritas sosial dan komitmen sosial. Pada masa lalu, solidaritas sosial ini diterjemahkan dengan berbagi daging kurban agar dapat disantap bersama-sama keluarga di rumah. Jadi apa yang dimakan orang kaya juga dapat juga dirasakan oleh orang miskin.

Masalahnya sekarang adalah mengapa kita tidak berpikir, bahwa orang miskin juga harus dapat merasakah sekolahnya orang kaya. Orang miskin juga harus dapat menikmati fasilitas belajarnya orang kaya. Jika ini ingin kita wujudkan tentu saja memerlukan biaya yang besar.
Sedangkan ketika kita tilik dari kata “korban” yang lebih dikenal di kalangan muslim Indonesia, sesungguhnya juga berasal dari bahasa Arab “Qurbân” yang asalnya “Qaruba-yaqrabu-qurbun wa qurbân” yang artinya kedekatan yang sangat. Kata “qurbân” adalah bentuk tafdîl yang menunjukkan penguatan terhadap sifat yang dikandung dari kata tersebut.


Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/opinion/2075009-idul-adha-dan-realitas-sosial/#ixzz2AIn9TxvW