Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang
Abstract
Democratization of education can be actualized through, among others,
the application of the concept of community-based education. This
article is philosophically aimed at exploring the basic ideas and
concepts implied in community-based education. What is community-based
education? Why does the concept need to be implemented in educational
management? The problem of community-based education is a new subject of
discourse appearing in the educational world and especially in
Indonesian society.
Community-based education is a system of education in which the
community makes a high proportion of decisions concerning education,
starting from matters of the input, process, and output through to the
financing of education. The concept of community-based education appears
urgent to be implemented for the sake of democratization of education.
Community-based education represents a political struggle for social
transformation. Thus, community-based education is part of an agenda of
critical pedagogy which attempts to liberate education from the shackles
of political power. When education has been liberated from the
domination and hegemony of such power, it means that democratization of
education has been actualized.
Pendahuluan
Pendidikan pada hakikatnya merupakan pencerminan kondisi negara dan
kekuatan sosial-politik yang tengah berkuasa. Pendidikan dengan
sendirinya merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada (Kartono,
1997:77). Masalah pendidikan akan menjadi masalah politik apabila
pemerintah ikut terlibat di dalamnya. Bahkan menurut Michael W. Apple
sebagaimana dikutip H.A.R. Tilaar (2003: 94-94), kurikulum pendidikan
yang berlaku sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu sistem
kekuasaan. Melalui kurikulum, pemerintah telah menjadikan pendidikan
sebagai sarana rekayasa dalam rangka mengekalkan struktur kekuasaannya.
Oleh karena itu, masalah pendidikan sesungguhnya adalah masalah
politik, tapi bukan dalam artian yang praktis. Diakui Paulo Freire
(2000:195), sekolah memang merupakan alat kontrol sosial yang efesien
bagi upaya menjaga status qua. Di negara otoriter yang menganut paham
pemerintahan totalitarianisme, pe-merintah akan membatasi kebebasan
individu dengan mengeluarkan kebijakan pendidikan yang uniform bagi
semua anak didik. Bagi negara semacam ini, pendidikan adalah kekuatan
politik untuk mendominasi rakyat. Pemerintah secara mutlak mengatur
pendidikan, sebab tujuan pendidikan baginya adalah membuat rakyat
menjadi alat negara (Kartono, 1997:78). Sebagai respon terhadap
pandangan ini, muncul paham pemerintahan yang menerapkan konsep negara
demokrasi, yang menghendaki adanya demokratisasi dalam pendidikan.
Demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan suatu keharusan, agar
dapat melahirkan manusia-manusia yang berwatak demokratis. Reformasi
pendidikan melalui demokrasi pendidikan, menurut
Zamroni (t.t.:127-130), dapat dilakukan dalam tiga aspek pendidikan,
yaitu regulatori, profesionalitas, dan manajemen. Aspek regulatori
dititikberatkan pada reformasi kurikulum yang berkaitan dengan perumusan
tujuan pendidikan, penerapan kurikulum berbasis kompetensi
(competency-based curriculum), pergeseran paradigma kerja guru dari
responsibility ke arah accountability dan pelaksanaan evaluasi
dengan Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat esei dan porto folio.
Aspek profesionalitas ditujukan untuk mengembalikan hak-hak dan
wewenang kepada guru dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Aspek ini
dapat ditempuh melalui pengembangan kesadaran hak-hak politik guru dan
pemberian kesempatan kepada guru untuk mengembangkan dirinya. Sedangkan
aspek manajemen pendidik-an ditujukan untuk mengubah pusat-pusat
pengambilan dan kendali pendidikan. Reformasi aspek manajemen ini dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama, memberikan kesempatan yang lebih
luas kepada lembaga pendidikan untuk mengambil keputusan berkaitan
dengan pendidikan. Bentuk kebijakan ini adalah menumbuhkan manajemen
berbasis sekolah (school-based management). Kedua, memberikan kesempatan
yang luas kepada warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan ini dapat diwujudkan dalam bentuk
pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).
Tulisan ini dengan telaah filosofis bermaksud mengungkap ide-ide dan
konsep-konsep dasar yang terkandung dalam pendidikan berbasis
masyarakat. Apa dan bagaimana pendidikan berbasis masyarakat itu?
Mengapa ia perlu dilakukan dalam sebuah penyelenggaraan pendidik-an?
Masalah pendidikan berbasis masyarakat sesungguhnya merupakan wacana
baru yang muncul dalam dunia pendidikan, terutama bagi masyarakat
Indonesia. Ia muncul berkaitan dengan reformasi pendidikan yang
menghendaki adanya pergeseran paradigma pendidikan dari sentralistik ke
desentralistik, bergeser dari praktik pendidikan yang otoriter ke
praktik pendidikan demokratis yang membebaskan, serta dari konsep
pendidikan yang berorientasi pemerintah (state oriented) ke konsep
pendidikan yang berorientasi masyarakat (community oriented).
Demokrasi dan Pendidikan
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratos
(pemerintahan). Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan
kekuasaan di tangan rakyat. Demokrasi dewasa ini telah diterima
oleh hampir seluruh bentuk pemerintahan di dunia. Demokrasi menurut
Masykuri Abdillah
(dalamhttp://kompas.com/kompas%2Dcetak/9902/27/opini/isla04.htm.,
diakses 3 Mei 2003) memiliki tiga unsur utama, yaitu: adanya kemauan
politik dari negara (state), adanya komitmen yang kuat dari masyarakat
politik (political society) dan adanya civil society yang kuat dan
mandiri. Ketiga unsur ini diproses dalam sebuah negara yang menjamin
adanya kekuasaan mayoritas, suara rakyat dan pemilihan umum yang bebas
dan bertanggung jawab (lihat Abdillah, 1999: 73). Selain itu, demokrasi
juga memiliki dua norma baku yang berlaku bagi setiap bentuk
“demokrasi”, yaitu public accountability (pertanggungjawaban kepada
rakyat) dan contestability (uji kesahihan apakah demokrasi itu bercermin
kepada kehendak bersama atau atas nama kepentingan lain) (Wirosardjono
dalam Magnis-Suseno dkk., 1994: 14-15). Oleh karena itu, demokrasi dalam
arti modern, sebagaimana dikemukakan Magnis-Suseno (dalam Tamara dan
Taher, 1996:125), sering dipahami sebagai sebuah sistem politik yang
melembagakan kontrol terhadap pemerintah oleh rakyat (kedaulatan
rakyat), serta kewajiban pemerintah untuk memberi pertanggungjawaban
(accountabi-lity) kepada rakyat melalui sistem perwakilan. Jadi, di
dalam demokrasi modern terdapat dua kategori prinsip, yaitu prinsip
kedaulatan rakyat dan prinsip pertanggungjawaban melalui perwakilan.
Demokratisasi artinya proses menuju demokrasi. Dalam konteks ini,
pendidikan merupakan sarana paling strategis bagi penciptaan
demokratisasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra (dalam
http://www.kompas.com/%2Dcetak/0103/14/opini/pend04.htm., diakses 14
Maret 2001), cara paling strategis untuk “mengalami demokrasi”
(experiencing democracy) adalah melalui apa yang disebut sebagai
democracy education. Pendidikan demokrasi dapat dipahami sebagai
sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya,
dan praktik demokrasi melalui pendidikan. Selanjutnya Azra menegaskan,
dalam banyak hal, pendidikan demokrasi identik dengan “pendidikan
kewargaan” (civic education), meskipun pendidikan kewargaan lebih
Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat
luas cakupannya daripada pendidikan demokrasi. Namun yang jelas,
keduanya berupaya menumbuhkan civic culture dan civility di ling-kungan
pendidikan, yang pada gilirannya akan menjadi kontribusi penting bagi
pengembangan demokrasi yang genuine dan otentik pada negara-bangsa
Indonesia. Sejalan dengan pendapat dengan Azra, Syafii Maarif (dalam
Zamroni, t.t.:viii-ix) mengemukakan bahwa proses penciptaan mentalitas
dan kultur demokrasi kiranya dapat dilakukan melalui proses pendidikan.
Dalam kaitan ini, perwujudan sistem pendidikan yang demokratis merupakan
keniscayaan yang harus disikapi secara positif oleh seluruh komponen
yang terlibat dalam proses pendidikan.
Demokratisasi pendidikan mengandung arti proses menuju demokrasi
dalam bidang pendidikan. Demokratisasi pendidikan dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu “demokrasi pendidikan” dan “pendidikan demokrasi”.
Demokrasi pendidikan, sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan
ini, dapat diwujudkan di antaranya melalui penerapan konsep pendidikan
berbasis masyarakat dalam sebuah penyelenggaraan pendidikan nasional.
Demokrasi pendidikan lebih bersifat politis, menyangkut kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan di tingkat nasional. Apabila
demokrasi mulai diterapkan dalam pendidikan, maka pendidikan tidak akan
menjadi alat penguasa. Rakyat atau masyarakat diberikan haknya secara
penuh untuk ikut menentukan kebijakan pendidikan nasional. Semua pihak
yang berkepentingan dengan pendidikan diharapkan dapat berpartisipasi
dalam penentuan kebijakan pendidikan. Inilah yang disebut demokrasi
pendidikan menurut Kartono (1997:196-197).
Adapun pendidikan demokrasi berkaitan dengan bagaimana proses
pendidikan itu dilaksanakan di tingkat lokal (Usman dalam
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/28/menuju_masyarakat_madani_melalui.htm,
diakses 13 Agustus 2004). Di dalam pendidikan demokrasi, proses
pembelajaran di kelas dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma
keadaban. Fungsi pendidik dalam proses pembelajaran yang demokratis
adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator.
Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya.
Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim
pembelajaran yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai
mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta
didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu
memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut
ilmu.
Pendidikan demokrasi menuntut adanya perubahan asas subject matter
oriented menjadi student oriented. Proses pendidikan selama ini terkesan
menganut asas subject matter oriented, yaitu bagaimana membebani
peserta didik dengan informasi-informasi kognitif dan motorik yang
kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan
psikologis mereka. Dengan orientasi seperti ini dapat dihasilkan lulusan
yang pandai, cerdas, dan terampil, tetapi kepandaian dan kecerdasan
intelektual tersebut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional.
Keadaan demikian terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ranah
afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya dalam membentuk
perilaku peserta didik.
Suasana pendidikan yang demokratis senantiasa memperhatikan aspek
egalitarian (kesetaraan atau sederajat dalam kebersamaan) antara
pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus top down, namun
diimbangi dengan bottom up. Tidak ada lagi pemaksaan kehendak dari
pendidik, tetapi akan terjadi tawar-menawar di antara kedua belah pihak
dalam menentukan tujuan, materi, media, dan evaluasi hasil belajarnya.
Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta
didik, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung
jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak
sesuai dengan langkahnya sendiri, asalkan ada argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami
demokrasi tetapi juga menjalani latihan seperti berdebat,menghargai
pandangan dan harga diri orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang
diaplikasikan dalam setting diskusi. Konsep Community dalam Pendidikan
Berbasis Masyarakat
Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal tulisan
ini, demokratisasi pendidikan di antaranya dapat diwujudkan melalui
pene-rapan konsep pendidikan berbasis masyarakat. Konsep ini menghendaki
adanya keterlibatan masyarakat dalam upaya pengambilan
kebijakan-kebijakan pendidikan. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat
dalam pendidikan di Indonesia, menurut Suyata (1996:2), bukanlah hal
yang baru. Ia telah dilaksanakan oleh yayasan-yayasan swasta, kelompok
sukarelawan, organisasi-organisasi non-pemerintah, dan bahkan oleh
perseorangan. Secara khusus Azra (2002:5-6) menyebutkan, di kalang-an
masyarakat Muslim Indonesia, partisipasi masyarakat dalam rangka
pendidikan berbasis masyarakat telah dilaksanakan lebih lama lagi, yaitu
setua sejarah perkembangan Islam di bumi Nusantara. Hampir seluruh
lembaga pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari rangkang, dayah,
meunasah (Aceh), surau (Minangkabau), pesantren (Jawa), bustanul atfal,
diniyah dan sekolah-sekolah Islam lainnya didirikan dan dikembangkan
oleh masyarakat Muslim. Lembaga-lembaga ini hanya sekedar contoh
bagaimana konsep pendidikan berbasis masyarakat diterapkan oleh
masyarakat Indonesia dalam lintasan sejarah. Permasalahannya, apa itu
masyarakat dalam konsep pendidikan berbasis masyarakat?
Terma “masyarakat” merupakan alih bahasa dari society atau community.
Society sering diartikan sebagai “masyarakat umum”, sedangkan community
adalah “masyarakat setempat” atau “paguyuban” (Shadily, 1983: 60-61).
Dictionary of Sociology mencoba mendefinisikan community sebagai
berikut.
Community merupakan sub-kelompok yang mempunyai karakteristik seperti
society, tetapi pada skala yang lebih kecil, dan dengan kepentingan
yang kurang luas dan terkoordinir. Tersembunyi dalam konsep community
adalah adanya suatu wilayah teritorial, sebuah derajat yang dapat
dipertimbangkan mengenai perkenalan dan kontak antar pribadi, dan adanya
beberapa basis koherensi khusus yang memisahkannya dari kelompok yang
berdekatan. Community mempunyai perbekalan diri terbatas di banding
society, tetapi dalam batas-batas itu mempunyai asosiasi yang akrab dan
simpati yang lebih dalam. Mungkin ada beberapa ikatan kesatuan khusus
dalam community, seperti ras, asal-usul bangsa atau afiliasi keagamaan
(Fairchild, 1977:52).
Pengertian leksikal di atas mengisyaratkan bahwa community biasanya
dimaknai sebagai suatu kelompok manusia yang mendiami suatu wilayah
tertentu dengan segala ikatan dan norma di dalamnya. Dengan redaksi
berbeda, Smucker (dalam Brookover, 1955:373) mencoba mendekati
pendidikan dengan perspektif masyarakat (community approach to
education). Ia mendefinisikan community sebagai suatu kumpulan populasi,
tinggal pada suatu wilayah yang berdekatan, terintegrasi melalui
pengalaman umum, memiliki sejumlah institusi pelayanan dasar, menyadari
akan kesatuan lokalnya, dan mampu bertindak dalam kapasitasnya sebagai
suatu korporasi.
Untuk mempermudah pemahaman orang tentang community, Gerhard Emmanuel
Lenski membagi community dalam dua kategori, yaitu geografik dan
kultural. Lenski (1978:55) menulis:
Basically, there are two types of communities, geographical and
cultural. Geographical communities are those whose members are united
prima-rily by ties of spatial proximity, such as neighborhoods,
villages, town, and cities. Cultural communities are those whose members
are united by ties of a common cultural tradition, such as racial and
ethnic groups. A religious groups may also be considered a cultural
community if its members are closely integrated by ties of kinship and
marriage and if the group has developed a distinctive subculture of its
own. (Pada dasarnya, ada dua jenis masyarakat, geografis dan kultural.
Masyarakat geografis adalah masyarakat yang anggotanya dipersatukan
terutama semata-mata oleh ikatan tempat yang berdekatan, seperti
lingkungan, desa, kota, dan kota besar. Masyarakat kultural adalah
masyarakat yang anggotanya dipersatukan oleh ikatan tradisi budaya umum,
seperti kelompok rasial dan kesukuan. Suatu kelompok agama boleh juga
dipertimbangkan sebagai masyarakat kultural jika anggotanya terintegrasi
secara lekat oleh ikatan kekerabatan dan perkawinan, dan jika kelompok
itu telah mengembangkan subkultur yang berbeda dari kultur miliknya).
Berbeda dengan Lenski yang agak antropologis, Tonnies (dalam
Soemardjan dan Soemardi:461-484) secara sosiologis menggunakan istilah
gemeinschaft (community) dan gesellschaft (society) untuk meng-uraikan
bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lainnya. Kedua istilah ini
diterjemahkan oleh Soekanto (1999:143-148) menjadi “paguyuban” dan
“patembayan”. Menurut Tonnies, teori gemeinschaft (community) dimulai
dari asumsi tentang adanya kesatuan kehendak manusia (unity of human
wills) sebagai suatu kondisi asli atau alami yang perlu dipelihara,
walaupun terkadang terjadi pemisahan yang nyata. Akar kondisi alami ini
berasal dari koherensi kehendak manusia yang dihubungkan oleh tiga
ikatan, yaitu ikatan darah (gemeinschaft by blood), ikatan tempat
(gemeinschaft of place) atau oleh ikatan karena persamaan jiwa-pikiran
(gemeinschaft of mind). Ikatan darah melahirkan pertalian keluarga
(kinship), ikatan tempat melahirkan pertalian lingkungan (neighborhood),
dan ikatan pikiran memunculkan persahabatan (friendship). Ciri pokok
yang membedakan sebuah gemeinschaft (community) dengan lainnya adalah
intimate (hubungan mesra), private (bersifat pribadi), exclusive
(hubungan berlaku untuk anggota saja, bukan untuk di luar anggota),
adanya common will (kehendak bersama), consensus (kesepakatan) serta
adanya natural law (kaidah alami) yang dibuat para anggotanya. Dengan
ciri-ciri pokok ini, Tonnies menyatakan bahwa struktur hubungan pada
sebuah gemeinschaft (community) adalah nyata dan organik (real and
organic), sebagaimana diumpamakan organ tubuh manusia atau hewan.
Adapun gesellschaft (society), masih menurut Tonnies,
merupakan konstruksi dari suatu kumpulan manusia yang tinggal dan hidup
bersama secara damai. Kalau dalam gemeinschaft mereka dipersatukan oleh
semua faktor pemisah, maka dalam gesellschaft, mereka dipisahkan oleh
semua faktor pemersatu, artinya darah, tempat dan pikiran bukanlah
menjadi pengikat kesatuan mereka. Intinya, suatu gesellschaft adalah
publik life, dalam arti hubungannya berlaku bagi semua orang. Seorang
yang memasuki gesellschaft ibarat orang yang memasuki suatu negeri
asing. Hal ini karena suatu gesellschaft bersifat imaginary (dalam
pikiran belaka) dan strukur hubungan yang digunakannya adalah mechanical
strucure, sebagaimana diumpamakan sebuah mesin.
Kecenderungan baru menunjukkan bahwa konseptualisasi community dengan
menggunakan perspektif geografis-lokasional kini mulai ditinggalkan
orang. Hal ini, seperti diungkapkan Galbraith (dalam
http://www.ed.gov/pubs/PLLIConf95/comm.html, diakses 3 Mei 2003), telah
membuat intersecting dan overlapping antara community dengan masyarakat
dalam pengertian yang luas. Menurutnya, ada beberapa perspektif lain
yang mencoba memahami masyarakat sebagai sebuah konsep. Pertama,
perspektif “kepentingan” yang telah melahirkan konsep community of
interest. Perspektif ini memahami masyarakat sebagai kelompok individu
yang diikat oleh satu atau beberapa satuan kepentingan dari banyak
orang, seperti kesenangan, kepentingan kewarganegaraan dan politik, atau
kepercayaan religius dan spiritual. Menjadi “Klub Penggemar Bola Basket
“, atau barangkali menjadi “Kelompok Pecinta Opera” merupakan contoh
dari masyarakat kepentingan.
Kedua, perspektif “fungsi” yang memunculkan konsep community of
function. Kelompok yang dikenali berdasarkan fungsi peran dalam
kehidupan, seperti profesor, pekerja sosial, konsultan, pengacara,
dokter, petani, kuli bangunan, orangtua, dan sebagainya, dapat
dipertimbangkan sebagai community of function. Ketiga, persepktif
demografis, yaitu memandang masyarakat sebagai kelompok yang diikat oleh
karakteristik demografis umum seperti ras, jenis kelamin, dan umur.
Contoh masyarakat seperti ini adalah “Masyarakat
Afrika-Amerika” atau “Kelompok Usia Lanjut”. Keempat, perspektif
psikografik, yaitu melihat community sebagai kelompok yang dibentuk
berdasarkan komponen-komponen sistem nilai, kelas sosial, dan gaya
hidup. Contohnya adalah “Masyarakat Gay” atau “Masyarakat Pertanian Desa
Kelas Menengah”.
Dari pembahasan di atas, konsep community kiranya dapat dilihat dari
tiga pendekatan; geografis, antropologis dan sosiologis. Ketiga
pendekatan ini melihat community berdasarkan perspektifnya
masing-masing. Pertanyaannya, dari ketiga pendekatan ini, konsep
community manakah yang dapat digunakan dalam pendidikan berbasis
masyarakat? Menurut Cunningham (dalam Husen dan Postlethwite, 1994:900),
community dalam artian yang geografis-sosiologis yang dapat diterapkan
dalam pendidikan berbasis masyarakat. Dengan mengutip Harvard Education
Review yang terbit 1989 dan 1990, Cunningham mencoba mendefinisikan
masyarakat bagi pendidikan berbasis masyarakat, yaitu suatu konfigurasi
dari orang-orang yang kita hampir hidup di dalamnya, seperti halnya
orang-orang dengan siapa kita berbagi ikatan-ikatan umum, dalam bekerja,
mencintai, berideologi, bakat artistik, dalam suatu agama, suatu
kultur, suatu pilihan seksual, suatu perjuangan, suatu gerakan, suatu
sejarah, dan seterusnya.
Pendidikan Berbasis Masyarakat: Beberapa Perspektif
Pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing (dalam Jalal dan
Supriadi, 2001:186) merupakan pendidikan yang dirancang, dilaksanakan,
dinilai dan dikembangkan oleh masyarakat yang mengarah pada usaha
menjawab tantangan dan peluang yang ada di lingkungan masyarakat
tertentu dengan berorientasi pada masa depan. Dengan kata lain,
pendidikan berbasis masyarakat adalah konsep pendidikan “dari
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Dengan ini Sihombing
menegaskan bahwa yang menjadi acuan dalam memahami pendidikan berbasis
masyarakat adalah pendidikan luar sekolah, karena pendidikan luar
sekolah itu bertumpu pada masyarakat, bukan pada pemerintah. Ia dapat
mengambil bentuk Pusat Kegiatan Belajar-Meng-ajar (PKBM) yang tumbuh
subur dan masyarakat berlomba-lomba untuk mendirikannaya. Di seluruh
Indonesia hingga tahun 2000-an terdapat sekitar 760 PKBM. Hal senada
juga diungkapkan oleh Supriadi (2000: 365-368) yang mengkaji fenomena
TKA/TPA yang muncul di Indonesia semenjak 1980-an. Ia menyebutkan bahwa
pendidikan berbasis masyarakat merupakan proses pendidikan yang lahir
dari kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya ia tak perlu dikekang oleh
aturan-aturan formal dari pemerintah. Dari sini, fenomena TKA/TPA
kiranya dapat dijadikan model alternasi bagi pengembangan pendidikan
berbasis masyarakat, terutama dari segi keterlepasannya dari birokrasi
peme-rintah. Ia senantiasa terwujud sebagai bukti dari akomodasi
kehendak masyarakat untuk membelajarkan anak-anaknya.
Pendidikan berbasis masyarakat sesungguhnya bukan hanya dapat
dilaksanakan melalui jalur pendidikan luar sekolah
(nonformal),sebagaimana diungkapkan Sihombing dan Supriadi di atas. UU
No. 20 Tahun 2003 pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa “Jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya”. Oleh karena itu, pendidikan berbasis
masyarakat dapat juga mengambil jalur formal, nonformal dan informal.
Dalam kaitan ini, Gilbraith (dalam
http://www.ed.gov/pubs/PLLIConf95/comm.html) menyebutkan: “the concepts
of community-based education and lifelong learning, when merged,
utilizes formal, nonformal, and informal educational processes”.
Pendidikan berbasis masyarakat dengan proses formal biasanya merupakan
pendidikan yang diselenggarakan oleh organisasi birokrasi formal semisal
sekolah atau universitas. Pendidikan berbasis masyarakat dengan proses
nonformal dapat mengambil bentuk pendidikan di luar kerangka sistem
formal yang menyediakan jenis pelajaran terpilih, seperti di
perpustakaan atau museum. Adapun pendidikan berbasis masyarakat dengan
proses informal merupakan pendidikan yang diperoleh individu melalui
interaksinya dengan orang lain di tempat kerja, dengan keluraga, atau
dengan teman.
Ada beberapa perspektif yang mencoba mencari landasan konseptual bagi
pendidikan berbasis masyarakat. Perspektif historis melihat pendidikan
berbasis masyarakat sebagai sebuah perkembangan lanjut dari pendidikan
berbasis sekolah. Perspektif ini dikemukakan oleh Surakhmad (2000:20)
yang menyatakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan
perkembangan lebih lanjut dari pendidikan berbasis sekolah. Dalam
pandangannya, “konsep pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (PBS)
adalah konsep yang sangat mungkin perlu kita dahulukan sebagai titik
tumbuh konsep pendidikan berbasis masyarakat”. Diakui Shiddiqi
(1996:12), analisis historis selalu me-nelurkan dua unsur pokok, yaitu
periodisasi dan rekonstruksi proses asal-usul (origin), perubahan
(change) dan perkembangan (development). Unsur yang ditekankan Surakhmad
dalam analisisnya tentang pendidikan berbasis masyarakat ini adalah
masalah perkembangannya, yaitu sebuah perkembangan yang muncul kemudian
setelah lahirnya pendidikan berbasis sekolah.
Dengan perspektif itu Surakhmad selanjutnya menegaskan bahwa yang
dimaksud pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang dengan
sadar menjadikan masyarakat sebagai persemaian dasar perkembangan.
Konsep pendidikan berbasis masyarakat merupakan usaha peningkatan rasa
kesadaran, kepedulian, kepemilikan, keterlibatan, dan tanggung jawab
masyarakat. Selanjutnya Surakhmad menawarkan enam kondisi yang dapat
menentukan terlaksananya konsep pendidikan berbasis masyarakat.
1) Masyarakat sendiri memiliki kepedulian dan kepekaan mengenai pendidikan.
2) Masyarakat sendiri telah menyadari pentingnya pendidikan bagi kemajuan masyarakat.
3) Masyarakat sendiri telah merasa memiliki pendidikan sebagai
potensi kemajauan mereka.
4) Masyarakat sendiri telah mampu menentukan tujuan-tujuan pendidikan yang relevan bagi mereka.
5) Masyarakat sendiri telah aktif berpartisipasi di dalam penyelenggaraan pendidikan.
6) Masyarakat sendiri yang menjadi pendukung pembiayaan dan pengadaan sarana pendidikan.
Berbeda dengan Surakhmad yang melihat pendidikan berbasis masyarakat
dari aspek titik-tumbuhnya, P.M. Cunningham (dalam Husen dan
Postlethwaite, 1994:900-901) memandang pendidikan berbasis masyarakat
dari perspektif sosiologis. Menurutnya, pendidik-an berbasis masyarakat
(community-based education) merupakan hal yang kontras dengan pendidikan
masyarakat (community education) yang diselenggarakan negara. Kalau
pendidikan masyarakat diartikan sebagai proses pendidikan untuk
membangun potensi dan partisipasi masyarakat di dalam upaya proses
pengambilan keputusan secara lokal, maka pendidikan berbasis masyarakat
merupakan respon dari ketidakmampuan negara dalam melayani penduduknya
untuk menyelesaikan berbagai aktivitas pembangunan, baik dalam bidang
ekonomi, rehabilitasi perumahan, pelayanan kesehatan, latihan kerja,
pemberantasan buta huruf, dan maupun bidang pendidikan. Premis yang
digunakan dalam pendidikan berbasis masyarakat adalah bahwa pendidikan
itu tidak dapat dipisahkan dari kultur dan masyarakat tempat pendidikan
itu terjadi. Ia senantiasa berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat
(empowerment of communities). Jarang terjadi pendidikan berbasis
masyarakat dilakukan oleh sekolah-sekolah negeri. Hal ini karena masalah
pendidikan berbasis masyarakat itu menyangkut hubungan antara kekuasaan
(negara) dan kemiskinan (masyarakat), bukan partisipasi warganegara
(citizen participation) dalam pendidikan. Oleh karena itu, paradigma
yang digunakan pendidikan berbasis masyarakat adalah paradigma konflik.
Sedangkan pendidikan masyarakat senantiasa berasaskan pada paradigma
fungsionalime. Paradigma ini mengasumsikan adanya “sekolah negeri” dan
keinginan untuk menggunakannya secara efisien. Sekolah-sekolah ini
dibuat agar menjadi sumber daya masyarakat, dalam rangka meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
Paradigma Fungsionalisme/Development
Paradigma Konflik/Change
1. Karakteristik
Konsensus-Reformasi Integrasi
Konflik-Transformasi
2. Pengertian
Masyarakat
Masyarakat Geografis
Masyarakat Geografis- Sosiolo-gis
3. Format Pendidikan
Lembaga Formal
Lembaga Formal dan Nonformal
4. Program Pendidikan
Pendidikan Masyarakat, Pembangunan Masyarakat dan Community College
Pendidikan Berbasis Masyarakat, Pendidikan Popular dan Social Movement Learning
5. Produk Pengetahuan
Positivistik Logis
Partisipatori-Transformasi
6. Kultur
High Culture, seperti Museum dan Perpustakaan
Popular Culture, seperti Teater dan Seni Popular
7. Akar Historis
Henry Morris (Inggris) dan Frank Manley (USA)
Father Coady (Kanada), Paulo Freire (Brasil), Rajesh Tandon (India),
Myles Horton (USA) dan Julius Nyerere (Tanzania)
Tabel Cunningham di atas secara sepintas menjelaskan bahwa paradigma
pendidikan fungsionalis senantiasa melaksanakan program pendidikannya
dengan apa yang disebut pendidikan masyarakat (community education) dan
pembangunan masyarakat (community development). Oleh karena teori
fungsionalis yang dijadikan landasan paradigmanya, maka program
pendidikan semacam ini senantiasa berupaya mempertahankan status quo.
Pendidikan dalam teori fungsionalis telah dijadikan instrumen untuk
mencapai stabilitas atau equlibrium di atas konsensus para anggota
masyarakatnya (Nasikun, 1995:9-15). Selain itu, tabel di atas juga
menjelaskan bahwa berbeda dengan paradigma fungsionalis, paradigma
konflik telah menekankan program pendidikannya pada apa yang disebut
pendidikan berbasis masyarakat (community-based education). Paradigma
konflik menurut Nasikun (1995:16-25) mengindikasikan bahwa perubahan
sosial terjadi karena adanya unsur-unsur yang bertentangan di dalam
masyarakat secara terus-menerus, karena perbedaan otoritas. Otoritas
yang berbeda telah melahirkan dua kepentingan yang berlawanan. Suatu
kelompok senantiasa mempertahankan status quo, dan kelompok yang lain
berupaya menghendaki perubahan dan perombakan. Dua kelompok ini
senantiasa berada pada posisi konflik, demi mempertahankan
kepentingannya. Ada tiga bentuk pengendalian konflik, yaitu konsiliasi,
mediasi dan arbitrasi. Ketiga bentuk ini dipandang efektif bagi
mekanisme pengendalian konflik, yang pada gilirannya konflik yang ada
merupakan sebuah kekuatan yang dapat mendorong terjadinya perubahan
sosial tanpa akhir. Pendidikan berbasis masyarakat menurut Cunningham
senantiasa menghendaki adanya perubahan sosial yang dihasilkan dari
konflik yang terjadi antara kelompok pro status quo (pemerintah) dengan
kelompok yang anti status quo (masyarakat). Konflik semacam ini kiranya
diperlukan dalam rangka penciptaan masyarakat transformatif.
Perspektif lain yang digunakan dalam melihat konsep pendidikan
berbasis masyarakat adalah perspektif politik. Di antara tokohnya adalah
Dean Nielsen. Nielsen (dalam Jalal dan Supriadi, 2001:175) menekankan
bahwa pendidikan berbasis masyarakat (community-based education)
merupakan hal yang berlawanan dengan pendidikan berbasis negara
(state-based education). Hal ini karena masyarakat dengan makna
community biasanya dilawankan dengan negara. Dalam konteks Indonesia,
pendidikan berbasis masyarakat menunjuk kepada tujuh pengertian, yaitu
(1) peran serta masyarakat dalam pendidikan, (2) pengambilan keputusan
berbasis sekolah, (3) pendidikan yang diberikan oleh sekolah swasta atau
yayasan, (4) pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh pusat
pelatihan milik swasta, (5) pendidikan luar sekolah yang disediakan
Pemerintah, (6) pusat kegiatan belajar masyarakat, dan (7) pendidikan
luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput (grassroot
organizations), seperti LSM dan pesantren. Dari pengertian pendidikan
berbasis masyarakat yang luas dan beragam itu, Nielsen memplot dan
memetakannya berdasarkan dua dimensi, yaitu keterlibatan pemerintah
terhadap swasta dan derajat kepemilikan masyarakat. Dilihat dari dimensi
pertama, pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang sebagian
besar keputusan-keputusannya dibuat oleh masyarakat (education in which
a high proportion of decisions are made by community). Berdasarkan
pengertian ini, sebagaimana terlihat pada Gambar 1, “satu-satunya
pendidikan yang sepenuhnya berbasis masyarakat adalah pesantren yang
memiliki kurikulum sendiri, mengusahakan pendanaan sendiri dan melayani
kebutuhan masyarakatnya”, demikian tulis Nielsen. Sedangkan dimensi
kedua dari pemetaan pendidikan berbasis masyarakat ala Nielsenian ini
dilakukan dengan jalan memplot tingkat pengendalian masyarakat terhadap
program pendidikannya. Berdasarkan dimensi kedua ini, seperti
ditunjukkan oleh Gambar 2, pesantren merupakan contoh kepemilikan
masyarakat secara penuh (full ownership). Di dalam lembaga pesantren,
masyarakat bukan hanya sekedar mendukung (support), terlibat
(involvement) atau menjadi mitra (partnership), tapi masyarakat
sepenuhnya adalah menjadi pemilik pesantren.
Implikasi penerapan konsep pendidikan berbasis masyarakat ala Nielsen
di atas adalah munculnya public school dan private school. Dalam
pandangan Soedijarto (1997:314) dalam dunia pendidikan dikenal istilah
public school dan private school. Di negara-negara seperti Amerika,
Jerman dan Kanada, “sekolah pemerintah” lebih dikenal sebagai public
school (sekolah umum). Hal ini karena sekolah pemerintah itu diabdikan
untuk kepentingan umum, dan dibiayai dari dana masyarakat yang diperoleh
melalui sistem perpajakan. Kondisi ini berbeda dengan private school
yang diperuntukkan dan diselenggarakan oleh masyarakat tertentu. Masih
menurut Soedijarto, sekolah-sekolah swasta masuk pada kategori private
school, karena diselenggarakan oleh kelompok masyarakat untuk
kepentingan kelompoknya. Dalam hal ini, sekolah-sekolah swasta di
Indonesia terbagi dalam empat kelompok, yaitu
(1) sekolah swasta yang keberadaannya untuk kepentingan agama,
(2) sekolah swasta yang keberadaannya mengabdi kepada kepentingan mutu,
(3) sekolah swasta yang keberadaannya mengabdi kepada pendidikan bagi
kelompok masyarakat yangbelum terjangkau oleh pelayanan pendidikan
yang disediakan pemerintah, dan
(4) sekolah swasta yang penyelenggaraannya karena kepentingan lain dari para penyelenggaranya.
Dari beberapa perspektif di atas, penulis kiranya lebih cenderung
kepada perspektif politik untuk membahas pendidikan berbasis masyarakat.
Mengapa? Pendidikan berbasis masyarakat, sebagaimana diungkapkan Sharon
Murphy (2001:16), senantiasa didasarkan pada teori dan pedagogik kritis
(grounded in critical theory and pedagogy). Di dalam pedagogik kritis,
pendidikan merupakan arena perjuangan politik. Jika dalam paradigma
pendidikan konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo,
sementara bagi paradigma pendidikan liberal untuk perubahan kaum
moderat, maka dalam pedagogik kritis, pendidikan diarahkan pada
terjadinya perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi
masyarakat di mana pendidikan berada.
Dalam perspektif pedagogik kritis, urusan pendidikan adalah melakukan
refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi
sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang untuk bersikap
kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan
dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.
Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap
obyektif maupun berjarak dengan masyarakat. Visi pendidikan adalah
melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap
rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru
yang lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu
menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas
dan kritis dalam rangka transformasi sosial. Dengan kata lain, tugas
utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami
dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil (Fakih dan
Rahardjo dalam
http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm
diakses 9 April 2005). Pedagogik kritis dengan tokoh seperti Antonio
Gramsci dan Paulo Freire (Diana Coben, 1998:9-115) selalu menekankan
bahwa masalah pendidikan merupakan masalah politik. Hubungan pedagogis
melibatkan hubungan kekuasaan dan dominasi. Di sinilah letak perlunya
penerapan konsep pendidikan berbasis masyarakat, agar pendidikan
senantiasa bebas dari dominasi dan hegemoni kekuasaan.
Penutup
Dari beberapa uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa
pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang sebagian besar
keputusan kependidikannya ditentukan oleh masyarakat, mulai dari masalah
input, proses dan output pendidikan, hingga masalah pendanaan. Sebuah
model yang dapat dijadikan contoh bagi pendidikan berbasis masyarakat
adalah lembaga pesantren yang memiliki kurikulum sendiri, mengusahakan
pendanaan sendiri dan melayani kebutuhan masyarakatnya sendiri.
Sayangnya, tidak semua pesantren Konsep Dasar Pendidikan Berbasis
Masyarakat
mampu melakukan hal ini.
Konsep pendidikan berbasis masyarakat kiranya merupakan hal yang
urgen untuk dilakukan dalam rangka demokratisasi pendidikan. Pendidikan
berbasis masyarakat merupakan perjuangan politik menuju transformasi
sosial. Pendidikan berbasis masyarakat merupakan bagian dari agenda
pedagogik kritis yang senantisa berupaya membebaskan pendidikan dari
belenggu kekuasaan. Manakala pendidikan telah terbebas dari dominasi dan
hegemoni kekuasaan, itu berarti demokratisasi pendidikan dapat
diwujudkan.
Daftar Pustaka
Abdillah, Masykuri. “Islam dan Masyarakat Madani” dalam
http://kompas.com/kompas%2Dcetak/9902/27/opini/isla04.htm. (diakses 3
Mei 2003).
——–. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), alih bahasa Wahib
Wahab. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Azra, Azyumardi. “Masalah dan Kebijakan Pendidikan Islam di Era
Otonomi Daerah” Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Manajemen
Pendidikan di Hotel Indonesia, Jakarta 8-10 Agustus 2002, kerjasama
Universitas Negeri Jakarta dengan Himpunan Sarjana Administrasi
Pendidikan Indonesia.
——–. “Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi” dalam
http://www.kompas.com/%2Dcetak/0103/14/opini/pend04.htm. Artikel ini
telah dimuat pada harian Kompas, 14 Maret 2001. (Diakses 3 Mei 2003).
Coben, Diana. Radical Heroes: Gramsci, Freire and the Politics of Adult Education. New York: Garland Publishing Inc., 1998.
Cunningham, P.M. “Community Education and Community Develop344
Cakrawala Pendidikan, November 2005, Th. XXIV, No. 3
ment” dalam The International Encyclopedia of Education, editor
kepala Torsten Husen dan T. Neville Postlethwaite, Vol. II. Oxford:
Pergamon, 1994.
Fairchild, Henry Pratt (ed.). Dictionary of Sociology. Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams & Co., 1977.
Fakih, Mansour dan Toto Rahardjo, “Pendidikan Yang Membebaskan” dalam
http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm
(diakses 9 April 2005).
Freire, Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudi-yartanto.
Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Kartono, Kartini. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan
Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti. Cet. I; Jakarta: Pradnya
Paramita, 1997.
Lenski, Gerhard Emmanuel. Human Societies: an Introduction to Macrosociology. Kogakusha: McGraw-Hill, 1978.
Maarif, Ahmad Syafii. “Ketika Pendidikan Tidak Membangun Kultur
Demokrasi” prawacana untuk Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi:
Tantangan Menuju Civil Society. Cet. I; Yogyakarta: Bigraf, t.t.
Magnis-Suseno, Franz. “Demokrasi: Tantangan Universal” dalam M. Nasir
Tamara dan Elza Peldi Taher (Eds.), Agama dan Dialog Antar Peradaban.
Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996.
Michael W. “Community-Based Organizations and the Delivery of
Lifelong Learning Opportunities” dalam
http://www.ed.gov/pubs/PLLIConf95/comm.html, Tulisan ini merupakan
Kertas Kerja Komisi yang disampaikan pada Lembaga Nasional Pendidikan
Tinggi, Perpustakaan, dan Pendidikan Seumur Hidup, Kantor Riset dan
Peningkatan Pendidikan AS, Departemen Pendidikan, Washington, D.C.,
April 1995. (Diakses 3 Mei 2003).
Murphy, Sharon “Informing Our Practice: A Case Study to Interrogate
and Seek Critical Foundation for Community-Based Education”, Disertasi
Ph.D. yang diajukan pada Claremont Graduate University dan San Diego
State University, 2001.
Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Cet. IX; Jakarta: Rajawali Pers, 1995.
Nielsen, Dean. “Memetakan Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat di
Indonesia” dalam Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (Eds.), Reformasi
Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Cet. I; Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa, 2001.
Shadily, Hassan. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Cet. IX; Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Jeram-Jeram Peradaban Muslim. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Sihombing, Umberto. “Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis
Masyarakat” dalam Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (Eds.), Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Cet. I; Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa. 2001.
Smucker, Orden C. “The Community Approach to Education” dalam Wilbur
B. Brookover (Ed.), A Sociology of Education. New York: American Book
Company, 1955.
Soedijarto. Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam
Menyiapkan Manusia Indonesia Memasuki Abad ke-21. Jakarta: Proyek
Perencanaan Terpadu dan Ketenagaan Diklusepora, 1997.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Keempat Cet. XXVII; Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
Supriadi, Dedi. “Antara Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar: Di Balik
Kebijakan Ada Konstruk Berpikir”, Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000, No.
3.
Surakhmad, Winarno. “Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah dalam
Rangka Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat”, makalah disampaikan
pada Raker Kepala Sekolah SLTP-SLTA Negeri dan Swasta Se-Propinsi Jawa
Tengah, Kanwil Depdiknas Agustus-September 2000.
Suyata. Community Participation in School Development: Acces, Demand,
and School Construction. Jakarta: Directorate of Seconday Education,
Directorate General of Primay and
Secondary Education, Ministry of Education and Culture, 1996.
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Cet. I; Magelang: Indonesiatera, 2003.
Tonnies, Ferdinand. “Gemeinschaft and Gesellschaft” dalam Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (Eds.), Setangkai Bunga Sosiologi,
Edisi I. Jakarta: Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia,
1964.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Usman, Husaini. “Menuju Masyarakat Madani Melalui Demokratisasi
Pendidikan” dalam
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/28/menuju_masyarakat_madani_melalui.htm
(diakses 13 Agustus 2004).
Wirosardjono, Soetjipto. “Demokrasi” dalam Frans Magnis-Suseno dkk.,
Dari Seminar Sehari Agama dan Demokrasi. Cet. II; Jakarta: P3M-FNS,
1994.
Zamroni. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society. Cet. I; Yogyakarta: Bigraf, t.t.