Ajaib! Dalam beberapa tahun saja trilliunan Rupiah uang negara plus
dana pinjaman asing mengalir ke kas penyelenggara pembangunan desa dan
kota. Rejim berkoar bahwa mereka sukses dengan skema program yang mereka
anggap partisipatif. Ribuan fasilitator dilatih, dimobilisasi dan
digaji untuk satu upaya yang mereka sebut sebagai fasilitasi
pemberdayaan warga, dari desa pelosok di Sabang hingga pedalaman
Merauke.
Di lain pihak, para penganjur penguatan warga sipil
(civil society) atau NGO menilai, klaim ini sebagai sesuatu yang tak
berdasar dan bombastis. Dana mungkin telah didistribusi namun mereka
belum melihat bukti bahwa warga telah menunjukkan rasa memiliki
(ownership) sehingga dengan sukarela menjaga dan memanfaatkan bantuan
tersebut. Mereka menyodorkan bukti bahwa banyak sekali fasilitas bantuan
yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Pada tingkat makro,
pengangguran dan urbanisasi dari desa ke kota malah semakin tinggi dan
menjadi persoalan baru di pusat-pusat kota.
Kita mungkin pernah
melihat satu pos bantu kesehatan yang hanya menjadi tempat tidur
kambing dan ayam kampung. Kotoran mereka mengering di atas lantai. Atau,
bangunan yang sedianya untuk balai pertemuan warga namun hanya menjadi
tempat jemur pakaian. Penulis juga pernah mengamati denyut program pada
suatu desa dimana terdapat beberapa fasilitas umum seperti Mandi Cuci
Kakus (MCK) bertuliskan tahun 2009, sarana pipa air dan satu lagi MCK
yang dibangun tahun 2005 berdiri tak berjauhan dari rumah aparat desa.
Bantuan-bantuan itu hadir di satu titik. Seakan-akan hanya elite desa
yang butuh.
Ironi terlihat pada beberapa meter dari fasilitas
ini dimana warga sibuk membersihkan sisik ikan dan mencuci pakaian di
alur sungai yang mulai mengering. Kembali ke kebiasaan awal. Warga lebih
senang mandi berlindung di semak-semak, padahal, di dekatnya terdapat
MCK dua kamar mandi dan sumur yang nyaris tak digubris. Bukan hanya itu,
proyek-proyek itu memanjakan masyarakat dengan bantuan dana pinjaman
ringan tanpa agunan, bukannya pengembalian dan keberlanjutan
pengelolaan, yang muncul adalah tunggakan dan kredit yang nyaris macet.
Pembangunan yang dicita-citakan menjadi fenomena ganjil dan kerap
memunculkan persoalan baru. Partisipasi dalam pembangunan yang
diharapkan oleh penyelenggara proyek menjadi sangat sumir dan kehilangan
makna. Warga tidak mau peduli dan membiarkan bangunan yang dibangun
atas nama pemberdayaan itu menua sebelum waktunya. Sarana prasarana
kesehatan dan sanitasi lingkungan, bangunan untuk pendidikan, bantuan
finansial dianggap menghamburkan uang negara karena tidak efektif.
Warga, dalam proses awal menunjukkan penerimaan (akseptasi) dan dengan
yakin menyatakan bersedia menyiapkan tenaga. Merekapun bekerja membangun
bangunan fisik tersebut, mengalokasikan tenaga dan bergotong royong,
namun dalam perkembangannya justeru membiarkan begitu saja saat bangunan
tersebut telah selesai dibangun. Rasa memiliki begitu kurang dan
partisipasi mereka seakan menjadi partisipasi semu sementara
penyelenggara atau fasilitator bertepuktangan girang saat proyek
selesai.
Ada Apa Dengan Partisipasi Warga?
Fakta bahwa
terdapat banyak fasilitas publik di desa yang tidak dimanfaatkan
setidaknya membuat kita berpikir, mengapa warga terlihat berpartisipasi
sedari awal tetapi tidak menunjukkan tanggung jawab sesudahnya? Ada apa?
Setidaknya, jika membaca berbagai pengalaman kawan-kawan fasilitator
proyek, dapat ditarik benang merah hal yang mengarah pada “perencanaan
yang terpaksa”. Perencanaan bersama warga menjadi sangat rigid dan
kurang mengapresiasi peran dan pelibatan mereka dalam pengambilan
keputusan.
Coba ambil contoh saat seorang fasilitator atau staf
lapangan proyek menjajaki pembangunan sarana sanitasi kampung. Kerap
kali mereka datang dengan pernyataan, “Kami datang membantu atasi
persoalan Bapak-Ibu”. “Apakah persoalan di desa ini?” “Jika masalahnya
adalah ketersediaan air bersih yang kurang dan tidak higienis, maukah
Bapak jika kami bantu membangun sumur?” Warga tentu sangat berterima
kasih. Mereka tanpa diperintah menyatakan bersedia membantu.
Lalu fasilitator proyek melanjutkan, “Kami akan bantu dengan menyediakan
dana pembelian alat dan kebutuhan pembangunan fisik, maukah Anda
berpartisipasi mengerjakannya sebagai wujud dukungan Bapak-Ibu?”. “Jika
hanya tenaga, kami tentu akan siap bekerja” Kata warga spontan. “Siapa
yang mau menolak bantuan?” pikirnya.
Cerita di atas setidaknya
memberi kita kesan bahwa, nyaris tidak ada negosiasi atau kesempatan
kepada warga untuk memutuskan setiap tahapan pelaksanaan kegiatan.
Fasilitator datang memberi opsi tanpa memberi kesempatan kepada warga
untuk bernapas dan berpikir, “bagaimana peran mereka pada tahapan
pengerjaannya?, dimana mereka saat membahas anggaran?, apa tanggung
jawab mereka saat pembelian barang atau material?, bagaimana dengan
keberlanjutannya? Apakah ada alternatif solusi saat proyek atau
fasilitator hengkang dari desa mereka?”. Maukah mengganti saat ada
bagian bangunan yang rusak atau malfungsi?
Esensi partisipasi
bertumpu pada mendorong warga pada pengambilan keputusan (decision
making). Jika warga tidak diberi kesempatan atau terlibat dalam
pengambilan keputusan maka dapat dipastikan mereka tidak punya rasa
memiliki (ownership). Jika warga dibebankan pada satu tanggung jawab
mereka pasti akan mengambil tanggung jawab saat itu. Dalam kasus di
atas, tanggung jawab warga adalah menjadi “tenaga kerja” belaka, mereka
tidak punya otoritas untuk “merencanakan atau memutuskan besaran
anggaran” sedari awal.
Dimana Fungsi Fasiltator ?
Mendorong peran serta warga untuk mengambil posisi dalam penentuan
keputusan adalah hal mutlak yang harus diketahui sejak awal. Jika
fasilitator lalai di sini jangan harap warga akan bertanggung jawab.
Inilah fungsi fasilitator dan di sinilah mereka harus berdiri.
Masyarakat tidak akan mengambil tanggung jawab jika fasilitator tidak
mengajak mereka mengambil tanggung jawab. Tugas fasilitator adalah
bagaimana mendorong mereka untuk mengambil tanggung jawab.
Termasuk di dalamnya adalah pentingnya fasilitator menjaga sikap dan
pemihakan mereka sebagai pendorong partisipasi warga. Kerap kali karena
fasilitator membawa proyek (yang dibatasi waktu) dan memaksakan
kegiatannya secara halus, mereka seakan telah memberi ruang bagi
partisipasi warga tetapi pada saat bersamaan mereka merengek kepada
warga untuk dibantu menyelesaikan masalah-masalah administrasi belaka.
Banyak hal yang menjadi contoh betapa sikap dan pendirian fasilitator
menjadi begitu penting.
Suatu ketika, Fasilitator telah
bersepakat dengan warga untuk menyelenggarakan pelatihan pada pukul
09.00 pagi. Warga setuju dengan fasilitator untuk memulainya pada pukul
09.00. Sebagaimana biasanya tentu kita bertanya dan meminta warga
menentukan waktu pertemuannya. Dan jika telah disepakati maka tentu kita
akan mencoba datang setidaknya 30 menit sebelum acara di mulai. Kita
datang dan menunggu yang lain.
Saat memasuki pukul 09.00
mungkin yang datang baru 1 atau 3 orang dan sebagian yang lain masih
belum menampakkan dirinya. Saat itu kita mesti bersikap. Kita mesti
memutuskan apakah tetap menunggu atau pulang. Yang lazim adalah
Fasilitator tetap menunggu atau bahkan meminta seseorang untuk memanggil
warga untuk datang. Fasilitator tidak mau pulang karena mereka pikir,
jika tindakan itu dipilih misinya menuntaskan agenda proyek menjadi
gagal. Gaji mereka pasti akan terhambat.
Sejatinya, seorang
fasilitator yang punya komitmen fasilitasi berdasarkan tujuan
pemberdayaan akan memutuskan untuk pulang saja. Setelah berbincang
dengan (sedikit) orang yang datang kita dapat menyampaikan bahwa akan
pulang karena warga tidak datang dan menepati janji. Saat memaksa warga
datang pertemuan, maka saat itu Anda telah melemahkan posisi Anda.
Seakan-akan Andalah yang butuh mereka, bukan mereka yang butuh program.
Dalam teori dan teknik fasilitasi, titik dimana Anda menempuh keputusan
seperti ini disebut titik kritis atau turning point (Wada dan Nakata,
2010). Jika Anda pulang, itu berarti Anda telah menunjukkan bahwa anda
punya niat baik. Jangan pernah memanggil atau meminta seseorang
memanggil satu-satu warga untuk datang, Anda membuat mereka seakan-akan
kepentingan ini adalah kemauan Anda bukan kemauan mereka. Saat itu, rasa
kepemilikan (ownership) telah anda gadai dan bahkan ruapkan ke udara.
Memang, kita harus punya determinasi dan kesabaran tetapi saat itu
kitapun bisa memutuskan lanjut atau tidak.
Apapun proyek atau
program yang kita desain jika menempuh “turning point” yang salah akan
berdampak pada bentuk partisipasi. Hal yang sama juga berlaku pada
bagaimana fasilitator menepati waktu. Dalam contoh pertemuan yang molor
itu, kita bisa berdalih bahwa sedang macet melalui telepon seluler dan
meminta warga bersabar. Sayangnya, pada beberapa kesempatan malah
fasilitator yang datang terlambat. Ini kerap terjadi karena mereka
merasa fasilitator sedang membawa proyek dan uang.
Situasi yang
ekstrem dapat saja muncul seperti saat seorang fasilitator pemberdayaan
datang memfasilitasi penyusunan rencana aksi desa dengan kalimat “kami
datang tanpa program kami mendorong wargalah yang berpartisipasi dan
menentukan” tetapi saat bersamaan dia telah melupakan esensi
pemberdayaan dengan mengatakan “apakah masalah di desa ini?”. Anda bias
memulai perkenalan. Ini memberi kesan, seakan-akan fasilitator sebagai
dewa penolong.
Saat warga menyebut puluhan kata masalah,
seperti penyakit karena tidak adanya air bersih, alat produksi yang
kurang, permodalan yang minim dia kemudian menawarkan pernyataan
pamungkas. “Jika demikian apakah Anda tidak berpikir untuk mempunyai
sumur?”. Warga tentu manggut dan berkata,”Mau sekali tetapi kami tidak
punya keterampilan dan uang” Lalu fasilitator berkata, “JIka kami bantu
maukah kalian menggalinya?”. Setidaknya, fasilitator telah menentukan
bahwa anggaran yang tersedia katakanlah Rp. 50 Juta dan warga menanggung
biaya pengerjaan. Kerapkali mereka sampaikan bahwa proyek menanggung,
pembelian material dan biaya instalasi, lalu memberi opsi pasti “Jika
Bakap Ibu berjanji mau merawatnya maka kita bisa mulai pengerjaannya”.
Dalam ruang pertemuan Bapak dan ibu akan manggut, namun saat pengerjaan
telah selesai, kita akan melihat fasilitas air bersih yang kesepian
menunggu kehancurannya.
Pesannya, sifat dasar partisipatori
warga sebenarnya adalah partisipasi fasilitator. Kita tidak bisa meminta
warga berpartisipasi jika kita tidak berpartisipasi. Fasilitatorlah
yang mesti berpartisipasi sebab tanpa Anda bawa proyek, desa itu tetap
ada. Tanpa ada janji perubahan melalui program, desa itu tetap
berdenyut.
Ada banyak celah yang tidak dipahami oleh
fasilitator program di hampir semua proyek pembangunan nasional, mereka
menganggap bahwa mereka membawa uang dan kesempatan mengubah masyarakat.
Pada tingkat operasional, mereka banyak yang gagal dalam menjelaskan
dengan sederhana pada semua pihak.
Seorang fasilitator harus
mampu mempersuasi dan memudahkan proses pada semua level atau strata,
baik umur maupun kelas. Angggap anda sedang berada di desa dan
mengadakan pertemuan dengan seratusan orang yang hadir di pertemuan itu
anak-anak 10 tahun hingga 80 tahun. Saat Anda bercerita tentang
jargon-jargon pemberdayaan warga, pembangunan, kemitraan, dan segala
yang berbau pembangunan pasti akan membuat bingung para anak-anak dan
kakek nenek. Mungkin yang muda atau golongan tengah akan manggut-manggut
tetapi yang tidak pernah sekolah atau membaca atau mendengar kalimat
itu sebelumnya tentu akan melongo.
Jika demikian maka jika Anda
mulai mengadakan pendekatan atau komunikasi dengan warga, gunakanlah
kalimat yang membuat peserta berminat untuk berpartisipasi. Anda dapat
mengutarakan kalimat tanya yang bisa menggugah warga untuk ikut berbagi.
Semisal, “Di desa Bapak, adakah kegiatan yang dilakukan bersama-sama?”
Kalimat langsung ini pasti akan memancing warga untuk memulai
perbincangan. Saat itu Anda telah berada di wilayah aman. Doronglah
warga untuk berpikir dan menghasilkan informasi bagi semua sebelum
benar-benar menyusun rencana aksi.
Tahapan-tahapan partisipasi
warga dapat ditunjukkan dimulai saat membangun perkawanan atau kemitraan
dengan mereka bahkan hingga saat mengevaluasi atau feed back dengan
warga. Tetapi poin yang paling pokok adalah memberi penjelasan pada
warga tentang pentingnya partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan
pada setiap rencana aksi yang disepakati. Membatasi warga untuk tidak
paham penganggaran dan kalkulasinya tentu akan berdampak negatif.
Mendorong fasilitasi warga dalam pengambilan keputusan (termasuk dalam
alokasi anggaran) akan bermuara pada tanggung jawab dan rasa pemilikan
(ownership) yang tinggi. Jangan sangka ada pembangunan yang berhasil dan
berkelanjutan jika sebagai fasilitator, kita meninggalkan warga saat
desain rencana aksi dan penentuan anggaran.
Hal lain yang perlu
dicamkan adalah jika kita hanya menjadi fasilitator proyek itu berarti
kita hanya akan bekerja untuk “kepentingan proyek”, hanya kepada
kepentingan adminstrasi, distribusi anggaran, semakin banyak anggaran
terserap semakin baik. Lalu bagaimana dengan efektifitas dan
keberlanjutannya saat “proyek” selesai?.
http://www.denun.net/esensi-partisipasi-dan-fasilitasi-warga/